Layanan publik yang bagus sebagian besar bersifat mitos dan didasarkan pada persepsi umum tentang bagaimana akses ke layanan publik didasarkan. Sebagai mitos, citra baik contohnya keramahan, kecepatan, martabat, kejelasan, dan kepastian merupakan prasyarat yang jarang ditemui dalam praktik. Pada titik tertentu, bahkan jika kita ingin menghindari semua kerumitan pelayanan publik, kita dapat memahami bahwa mitos kebaikan tidak serta merta berhenti selama ini.
Masa pandemi sepertinya bukan momen yang efektif untuk mengubah keadaan. Banyak laporan tentang penyaluran yang tidak tercakup yang muncul karena kegagalan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan ketidakmampuan untuk memperbarui data yang dapat menerima bantuan sosial secara cepat dan akurat, saya masih tahu. Biaya listrik lebih tinggi dari biasanya. Situasi ini semakin memperkuat keyakinan pelayanan publik yang baik.
Setelah itu, era kenormalan baru pun digembar-gemborkan ke masyarakat, namun sayangnya isi kampanyenya adalah tentang penggunaan protokol kesehatan. Sedangkan, dengan pelayanan publik yang baik, masyarakat tidak perlu antre dan masyarakat tidak harus keluar rumah berulang kali. Orang bahkan tidak harus bertemu banyak orang di berbagai meja. Pertanyaannya adalah seperti apa wajah ideal pelayanan publik pada era new normal.
Kedudukan Rakyat
Di negeri ini, pelayanan publik yang bagus bisa dilihat dalam UU 25/2009. Secara hukum, Pasal 18 juga 39 mengatur porsi yang signifikan dari hak dan partisipasi masyarakat. Derajat jenis pelayanan publik kini dapat diukur dengan beberapa cara. Misalnya, ketika mengacu pada teori harapan pelanggan oleh Zeithaml dan Bitner (2002), kualitas layanan sebenarnya mengevaluasi pengguna atau komunitas.
Menurut teori harapan pelanggan, jenis pelayanan diukur dengan mencapai dua tingkat harapan di masyarakat. Pertama, keyakinan pengguna tentang layanan yang diminati, yaitu layanan yang diterima (dapat) dan layanan yang diterima (seharusnya). Pada serajat ini, semua pengguna mempunyai harapan pada institusi dan bisa merasakan kepuasan maksimal ketika menerima layanan yang diharapkan.
Kedua, layanan yang tepat, yaitu saat pengguna menerima layanan, tergantung pada kemampuan organisasi untuk menyediakan layanan.
Pada tingkat ini, kemampuan memberikan layanan terbatas, memungkinkan pengguna layanan memanfaatkan layanan publik yang disponsori institusi.
Akibatnya, kepuasan pengguna layanan diminimalkan. Selain memposisikan komunitas untuk evaluasi, dua harapan ini sebenarnya juga ditujukan untuk mengkoordinasikan posisi negosiasi antara penyedia layanan dan pengguna.
Hal ini penting karena masyarakat cenderung tidak bernegosiasi dengan penyelenggara, yang mengarah pada penipuan dan jenis layanan yang buruk.
Kewajiban Pemerintah
Konon, penyelenggara sebenarnya bisa menggunakan beberapa cara untuk mengelola dua harapan tersebut. Untuk tingkat harapan di atas, penyelenggara harus memperkuat harapan mereka dari masyarakat untuk mengukur kepuasan mereka segera setelah menerima layanan.
Pada pengukuran tingkat kepuasan ini terdapat masukan serta saran perbaikan (pemberdayaan suara) yang dapat dievaluasi dengan penyelenggara untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Hal ini juga sesuai dengan kewajiban UU 25/2009 Pasal 21 Bagian J, yang menyatakan bahwa unsur-unsur Standar Pelayanan sekurang-kurangnya meliputi proses pengaduan, usulan dan penyampaian.
Selain hal pertama, kunci untuk mengelola layanan yang tepat adalah komunikasi yang bagus dari penyelenggara dengan pengguna mengenai kemampuan penyedia layanan. Operator perlu menjalankan dua nilai standar. Artinya, penampilan (konkret) dan konsistensi (konsistensi) standar layanan kepada pengguna untuk penerapan standar layanan informasi.
Pelayanan Publik Ideal Baru
Memang, pelayanan publik yang ideal bukanlah mitos yang susah dalam dirayakan jika komitmen pemerintah dipenuhi dengan memenuhi posisi masyarakat sebagai objek evaluasi.
Namun hal ini masih sedikit dilakukan oleh instansi pelaksana yang melayani masyarakat. Latar belakang paling umum yang diberikan adalah bahwa layanan perlu dilanjutkan, sehingga penanggulangan dan pembaruan memakan waktu dan hanya menyebabkan penundaan layanan.
Pada akhirnya, fenomena New Normal memunculkan kebutuhan terhadap pelayanan publik terbaru. Namun, masa transisi untuk sampai ke sana merupakan momen untuk mengubah layanan publik lama dan memutar kembali ke yang baru.
Jika dalam keadaan seperti ini, perubahan harus cepat sehingga hanya pelayanan publik yang berorientasi pada masalah yang dimungkinkan.
Sehingga tidak dapat ada alasan untuk perlunya perbaikan dan inovasi pelayanan publik dari waktu ke waktu. Sebaliknya, perjalanan ke normal baru mengharuskan Anda untuk bergerak melampaui langkah-langkah yang biasanya terjadi.
Proses penetapan standar pelayanan umum di masa lalu memakai dua pendekatan, baik berbasis aturan dan kebutuhan masyarakat. Bagi masyarakat yang berlanda kebutuhan masyarakat serta penyelenggara melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat luas dalam menetapkan standar pelayanan. Integrasi ini cuma dilakukan satu kali sebelum implementasi.
Situasinya berbeda ketika menerapkan basis masalah. Standar layanan dibuat sangat dinamis dan perlu terus disesuaikan dengan permasalahan yang muncul pada mengakses layanan. Pola berbasis masalah mengarah pada penemuan pola saat menjalankan proses pembangunan pola dengan menginventarisasi masalah dan memperbaikinya sesegera mungkin.